Senin, 12 Juli 2010

Ironi Obesitas Rekening Polisi

Gendut itu bikin susah gerak. Badan gendut bukan jadi idaman orang. Apalagi wanita justru malah memusuhinya. Tapi kalo terlanjur gendut apapun jenis kelaminnya harus cepat antisipasi. Salah satunya dengan diet ataupun olahraga.
 
Makanya saya kalo lihat orang gendut berjalan kadang merasakan kecapaian yang dialaminya. Kata dokter gendut bisa berakibat pada jantung. Serangan jantung dominan menghantuinya.

Banyak faktor yang mungkin bikin orang gemuk. Makan yang berlebihan karbohidrat, pola makan tidak sehat dan seimbang atau bisa jadi faktor keturunan (genetis). Ini analisa saya saja yang bukan dokter atau ahli gizi. Tapi analisa ini mungkin tidak akan beda banyak atau malah sama kalo dokter yang bilang.
 
Fenomena kegemukan/kegendutan (obesitas) baru2 ini malah bukan menyangkut tentang kesehatan tapi sudah bergeser ke ranah lain. Pemberitaan MBM Tempo yang menyita perhatian publik. Gara2 pemberitaan tersebut Sampe2 ada yang beli secara grosiran. Sebuah keanehan sekaligus kejanggalan memang. Entah siapa pemborongnya ?
 
Dalam pemberitaan tersebut menyebutkan adanya aliran dana ke rekening beberapa perwira polisi. Aliran yang tidak wajar sehingga menjadikan rekening tersebut mengalami Obesitas atau kegemukan.  Punya aliran dana yang wajar dari usaha yang jelas tak ada yang melarang. Mau rekeningnya bermilyar2 ataupun trilyunan.

Entah ada hubungan setelah pemberitaan itu menyusul pelemparan bom molotov ke kantor redaksi Majalah Tempo. Lalu penganiayaan akitivis ICW Tama SL  oleh kawanan orang tak dikenal. Atas kejadian itu SBY lalu meminta kepolisian untuk mengusut siapa oknum pelakunya dan apa motivasinya.

Kembali ke soal rekening gendut, pikiran saya teringat bila ada pengumpulan dana untuk bencana sifatnya nasional yang dilakukan stasiun tipi, media massa  atau pada acara malam dana kemanusiaan. Pada acara pengumpulan dana sangat susah tembus ke nilai sampai milyar2an dari akumulasi beberapa donatur/penyumbang. Berbeda dengan aliran ke rekening para perwira kita di kepolisian. Sekali transfer dari "donator hitam"  rekening bisa membengkak.

Ini sungguh sebuah ironi disaat harapan masyarakat terhadap pemberantasan korupsi ada di  pundak kepolisian.

sumber gambar disini

Kamis, 08 Juli 2010

Taunya cuma Bongkar

Main bongkar pasang memang mengasyikkan. Kadang saya pun ikutan main. Tapi karena pas lagi tidak mood, terpaksa ikut saja. Namanya terpaksa bukan kesenangan yang kudapat tapi sedikit kekesalan.

Harusnya sebagai mainan tentunya membuat senang. Tapi kalo teman main hanya bongkar dan kita cuma menyusun ulang. Bisa saja marah, jengkel dan kesal.

Mestinya saya tidak usah ikutan main. Biarkan saja dia main sendiri. Tapi mau bilang apa lagi terpaksa harus ikut main juga. Nyusun terus dibongkar lagi. arrgggg....

Gimana bila barang kita sudah tersusun rapi tapi ada yang main bongkar. Bila pelakunya didepan hidung kita paling sabarnya bilang "jangan dibongkar" dong !

Tapi bila kita tidak tahu siapa oknumnya, perasaan jengkel, marah menyatu dan yang keluar dari mulut hanya kutukan serapah.
"Sebentar  kalo tahu siapa yang punya ulah itu saya marahi dan nasehati, arrrgggg".

Terus bila yang main bongkar ingin menujukkan "kesengajaannya", Tahan marah saja kuncinya.

Ngajak mainnya juga pas lagi asyik nonton atau di depan kompie.


Saya tidak tahu ilmu apa yang dia pake. Kalo dilarang malahan tertawa tanpa perasaan bersalah.

Saya justru balik tertawa2 tertahan. Kadang malah barengan ketawa. Klo lagi sendiri, ingat kelakuan isengnya saya senyum2 sendiri.

Bosan negurnya malah menjadi2. Saya biarkan saja dia melakukan sampai bosan dan capek. Giliran selanjutnnya saya yang menyusun ulang susunan buku di rak.

Kenapa saya harus sabar saja tanpa melakukan tindakan terhadap pelakunya ? Jawabnya karena yang membongkar itu anak saya sendiri (usia 1 tahun).